Malam
telah larut terbentang. Sunyi. Dan aku masih berfikir tentang dirimu, akhi.
Jangan salah sangka ataupun menaruh prasangka. Semua semata-mata hanya untuk
muhasabah terutama bagi diriku, makhluk yang Rasulullah SAW sinyalirkan sebagai
pembawa fitnah terbesar.—Suratmu sudah kubaca dan disimpan. Surat yang
membuatku gementar. Tentunya kau sudah tahu apa yang membuatku nyaris tidak boleh
tidur kebelakangan ini.
“Ukhti,
saya sering memperhatikan anti. Kalau sekiranya tidak dianggap lancang, saya
berniat berta’aruf dengan anti.”
Kau orang yang kesekian. Tetap saja yang ‘kesekian’ itu yang membuatku diamuk perasaan tidak menentu. Astaghfirullahaladzim. Bukan, bukan perasaan melambung kerana merasakan diriku begitu mendapat perhatian. Tetapi kerana sikapmu itu mencampak ke arah jurang kepedihan dan kehinaan. ‘Afwan kalau yang terfikir pertama kali di benak bukannya sikap memeriksa, tapi malah sebuah tuduhan: ke mana ghaddhul bashar-mu?
Akhifillah, Alhamdulillah
Allah mengaruniakan dzahir yang jaamilah. Dulu, di masa jahiliyah, karunia itu
sentiasa membawa fitnah. Setelah hijrah, kufikir semua hal itu tidak akan
berulang lagi. Dugaanku ternyata salah. Mengapa fitnah ini justeru menimpa
orang-orang yang ku hormati sebagai pengemban risalah da’wah ? Siapakah di
antara kita yang salah?
***********
“Adakah saya kurang menjaga
hijab, ukh?” tanyaku kepada Aida, teman sebilikku yang sedang mengamati diriku.
Lama. Kemudian, dia menggeleng.
“Atau baju saya? Sikap
saya?”—“Tidak, tidak,” sergahnya menenangkanku yang mulai berurai air mata.
“Memang ada perubahan sikap
di kampus ini.”
“Termasuk diri saya?”
“Jangan menyalahkan diri
sendiri meskipun itu bagus, senantiasa merasa kurang iman. Tapi tidak dalam hal
ini. Saya cukup lama mengenali anti dan di antara kita telah terjalin komitmen
untuk saling memberi tausiyah jika ada yang lemah iman atau salah. Ingat?”
Aku mengangguk. Aida menghela
nafas panjang.
“Saya rasa ikhwan itu perlu
diberi tausiyah. Hal ini bukan perkara baru kan ? Maksud saya dalam meng-cam
akhwat di kampus.” Sepi mengembang di antara kami. Sibuk dengan fikiran
masing-masing… .
“Apa yang diungkapkan dalam
surat itu?”
“Ia ingin berta’aruf. Katanya
dia sering melihat saya memakai jilbab putih. Anti tahu bila dia bertekad untuk
menulis surat ini? Ketika saya sedang menjemur pakaian di depan rumah ! Masya
Allah…. dia melihat sedetail itu.”
“Ya.. di samping itu tempoh
masa anti keluar juga tinggi.”
“Ukhti…,” sanggahku, “Anti
percaya kan kalau saya keluar rumah pasti untuk tujuan syar’ie?”
“InsyaAllah saya percaya.
Tapi bagi anggapan orang luar, itu masalah yang lain.”
Aku hanya mampu terdiam.
Masalah ini senantiasa hadir tanpa ada suatu penyelesaian. Jauh dalam hati
selalu tercetus keinginan, keinginan yang hadir semenjak aku hijrah bahwa jika
suatu saat ada orang yang memintaku untuk mendampingi hidupnya, maka hal itu
hanya dia lakukan untuk mencari keridhaan Rabb-nya dan dien-ku sebagai tolok
ukur, bukan wajahku. Kini aku mulai risau mungkinkah harapanku akan tercapai?
************
Akhifillah, Maaf kalau saya
menimbulkan fitnah dalam hidupmu. Namun semua bukan keinginanku untuk beroleh
wajah seperti ini. Seharusnya di antara kita ada tabir yang akan membersihkan
hati dari penyakitnya. Telah ku coba dengan segenap kemampuan untuk
menghindarkan mata dari bahaya maksiat. Alhamdulillah hingga kini belum hadir
sosok putera impian yang hadir dalam angan-angan. Semua ku serahkan kepada
Allah ta’ala semata.
Akhi, Tentunya antum pernah
mendengar hadits yang tersohor ini. Bahwa wanita dinikahi kerana empat perkara:
kecantikannya, hartanya, keturunannya, atau diennya. Maka pilihlah yang
terakhir kerana ia akan membawa lelaki kepada kebahagiaan yang hakiki.
Kalaulah ada yang mendapat
keempat-empatnya, ibarat ia mendapat syurga dunia. Sekarang, apakah yang antum
inginkan? Wanita shalihah pembawa kedamaian atau yang cantik tapi membawa
kesialan? Maaf kalau di sini saya terpaksa berburuk sangka bahwa antum menilai
saya cuma sekadar fisik belaka. Bila masanya antum tahu bahwa dien saya
memenuhi kriteria yang bagus? Apakah dengan melihat frekuensi kesibukan saya?
Frekuensi di luar rumah yang tinggi?
Tidak. Antum tidak akan
pernah tahu bila masanya saya berbuat ikhlas lillahi ta’ala dan bila masanya
saya berbuat kerana riya’. Atau adakah antum ingin mendapatkan isteri wanita
cantik yang memiliki segudang prestasi tetapi akhlaknya masih menjadi
persoalan? Saya yakin sekiranya antum diberikan pertanyaan demikian, niscaya
tekad antum akan berubah.
Akhifillah, Tanyakan pada
setiap akhwat kalau antum mampu. Yang tercantik sekalipun, maukah ia
diperisterikan seseorang kerana dzahirnya belaka? Jawabannya, insya Allah
tidak. Tahukah antum bahwa kecantikan zahir itu adalah mutlak pemberian Allah;
Insya Allah antum tahu. Ia satu anugerah yang mutlak yang tidak boleh
ditawar-tawar jika diberikan kepada seseorang atau dihindarkan dari seseorang.
Jadi, manusia tidak mendapatkannya melalui pengorbanan. Lain halnya dengan
kecantikan bathiniyyah. Ia melewati proses yang panjang. Berliku. Melalui
pengorbanan dan segala macam pengalaman pahit. Ia adalah intisari dari manisnya
kata, sikap, tindak tanduk dan perbuatan. Apabila seorang lelaki menikah wanita
kerana kecantikan batinnya, maka ia telah amat sangat menghargai perjuangan
seorang manusia dalam mencapai kemuliaan jati dirinya. Faham?
Akhifillah, Tubuh ini hanya
pinjaman yang terpulang pada-Nya bila-bila masa mengambilnya. Tapi ruh,
kecantikannya menjadi milik kita yang abadi. Kerananya, manusia diperintahkan
untuk merawat ruhiyahnya bukan hanya jasmaninya yang boleh usang dan koyak
sampai waktunya.
Akhifillah, Kalau antum ingin
mencari akhwat yang cantik, antum juga seharusnya menilai pihak yang lain.
Mungkin antum tidak memerhatikannya dengan teliti. (Alhamdulillah, tercapai
maksudnya untuk keluar rumah tanpa menimbulkan perhatian orang). Pakaiannya
sederhana, ia hanya memiliki beberapa helai. Dalam waktu seminggu antum akan
menjumpainya dalam jubah-jubah yang tidak banyak koleksinya. Tempoh masanya
untuk keluar rumah tidak lama. Ia lebih suka memasak dan mengurus rumah demi
membantu kepentingan saudari-saudarinya yang sibuk da’wah di luar. Ia nyaris
tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kalau antum sudah melihat
shalatnya. Ia begitu khusyu’. Malam-malamnya dihiasi tahajjud dengan uraian air
mata. Dibaca Qur’an dengan terisak. Ia begitu tawadhu’ dan zuhud. Ah, saya iri
akan kedekatan dirinya dengan Allah. Benar, ia mengenal Rabbnya lebih dari
saya. Dalam ketenangannya, ia tampak begitu cantik di mata saya. Beruntung
ikhwan yang kelak memperisterikannya… (saya tidak perlu menyebut namanya.)
**********
Malam semakin beranjak. Kantuk
yang menghantar ke alam tidur tidak menyerang saat surat panjang ini belum
usai. Tapi, sudah menjadi kebiasaanku tidak boleh tidur tenang bila saudaraku
tercinta tidak hadir menemani. Aku tergugat apabila merasakan bantal dan guling
di samping kanan telah kehilangan pemilik. Rasa penat yang belum ternetral
menyebabkan tubuhku terhempas di sofa.
Aida sedang diam dalam
kekhusyu’kan. Wajahnya begitu syahdu, tertutup oleh deraian air mata. Entah apa
yang terlintas dalam qalbunya. Sudah pasti ia merasakan aku tidak heran saat
menyaksikannya. Tegak dalam rakaatnya atau lama dalam sujudnya.
“Ukhti, tidak solat malam? “
tanyanya lembut seusai melirik mata.
“Ya, sekejap,” kupandang
wajahnya. Ia menatap jauh keluar jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka.
“Dzikrul maut lagi?”
“Khusnudzan anti terlalu
tinggi.”
Aku tersenyum. Sikap
tawadhu’mu, Aida, menyebabkan bertambah rasa rendah diriku. Angin malam
berhembus dingin. Aku belum mau beranjak dari tempat duduk. Aida pun nampaknya
tidak meneruskan shalat. Ia kelihatan seperti termenung menekuri kegelapan
malam yang kelam.
“Saya malu kepada Allah,”
ujarnya lirih.
“Saya malu meminta sesuatu
yang sebenarnya tidak patut tapi rasanya keinginan itu begitu mendesak dada.
Siapa lagi tempat kita meminta kalau bukan diri-Nya?”
“Apa keinginan anti, Aida?”
Aida menghela nafas panjang.
“Saya membaca buku Syeikh
Abdullah Azzam pagi tadi,” lanjutnya seolah tidak menghiraukan. “Entahlah, tapi
setiap kali membaca hasil karyanya, selalu hadir simpati tersendiri. Hal yang
sama saya rasakan tiap kali mendengar nama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb atau
mujahid lain saat nama mereka disebut. Ah, wanita macam mana yang dipilihkan
Allah untuk mereka? Tiap kali nama Imaad Aql disebut, saya bertanya dalam hati:
Wanita macam mana yang telah Allah pilih untuk melahirkannya?”
Aku tertunduk dalam-dalam.
“Anti tahu,” sambungnya
lagi, “Saya ingin sekiranya boleh mendampingi orang-orang sekaliber
mereka. Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah. Mereka tak tergoda
rayuan harta dan benda apalagi wanita. Saya ingin sekiranya boleh menjadi
seorang ibu bagi mujahid-mujahid semacam Immad Aql…”
Air mataku menitis perlahan.
Itu adalah impianku juga, impian yang kini mulai kuragui kenyataannya. Aida tak
tahu berapa jumlah ikhwan yang telah menaruh hati padaku. Dan rasanya hal itu
tak berguna diketahui. Dulu, ada sebongkah harapan kalau kelak lelaki yang
mendampingiku adalah seorang mujahid yang hidupnya ikhlas kerana Allah. Aku tak
menyalahkan mereka yang menginginkan isteri yang cantik. Tidak. Hanya setiap kali
bercermin, ku tatap wajah di sana dengan perasaan duka. Serendah inikah nilaiku
di mata mereka? Tidakkah mereka ingin menilaiku dari sudut kebagusan dien-ku?
“Ukhti, masih tersisakah
ikhwah seperti yang kita impikan bersama?” desisku.
Aida meramas tanganku. “Saya
tidak tahu. Meskipun saya sentiasa berharap demikian. Bukankah wanita baik
untuk lelaki baik dan yang buruk untuk yang buruk juga?”
“Anti tak tahu,” air mata
mengalir tiba-tiba. “Anti tak tahu apa-apa tentang mereka.”
“Mereka?”
“Ya, mereka,” ujarku dengan
kemarahan terpendam. “Orang-orang yang saya kagumi selama ini banyak yang jatuh
berguguran. Mereka menyatakan ingin ta’aruf. Anti tak tahu betapa hancur hati
saya menyaksikan ikhwan yang qowiy seperti mereka takluk di bawah fitnah
wanita.”
“Ukhti!”
“Sungguh, saya terfikir bahwa
mereka yang aktif da’wah di kampus adalah mereka yang benar-benar mencintai
Allah dan Rasulnya semata. Ternyata mereka mempunyai sekelumit niat lain.”
“Ukhti, jangan su’udzan dulu.
Setiap manusia punya kelemahan dan saat-saat penurunan iman. Begitu juga mereka
yang menyatakan perasaan kepada anti. Siapa yang tidak ingin punya isteri
cantik dan shalihah?”
“Tapi, kita tahukan bagaimana
prosedurnya?”
“Ya, memang…”
“Saya merasa tidak dihargai.
Saya berasa seolah-olah dilecehkan. Kalau ada pelecehan seksual, maka itu wajar
kerana wanita tidak menjaga diri. Tapi saya…. Samakah saya seperti mereka?”
“Anti berprasangka terlalu
jauh.”
“Tidak,” aku menggelengkan
kepala. “Tiap kali saya keluar rumah, ada sepasang mata yang mengawasi dan siap
menilai saya mulai dari ujung rambut -maksud saya ujung jilbab- hingga ujung
sepatu. Apakah dia fikir saya boleh dinilai melalui nilaian fisik belaka..”
“Kita berharap agar ia bukan
jenis ikhwan seperti yang kita maksudkan.”
“Ia orang yang aktif
berda’wah di kampus ini, ukh.”
Aida memejamkan mata. Bisa
kulihat ujung matanya basah. Kurebahkan kepala ke bahunya. Ada suara lirih yang
terucap,
“Kasihan risalah Islam. Ia
diemban oleh orang-orang seperti kita. Sedang kita tahu betapa berat perjuangan
pendahulu kita dalam menegakkannya. Kita disibukkan oleh hal-hal sampingan yang
sebenarnya telah diatur Allah dalam kitab-Nya. Kita tidak menyibukkan diri
dalam mencari hidayah. Kasihan bocah-bocah Palestin itu. Kasihan
saudara-saudara kita di Bosnia . Adakah kita boleh menolong mereka kalau
kualitas diri masih seperti ini? Bahkan cinta yang seharusnya milik Allah masih
berpecah-pecah. Maka, kekuatan apa yang masih ada pada diri kita?”
Kami saling bertatapan
kemudian. Menjangkau seribu makna yang tidak mampu dikatakan oleh kosa kata. Ada
janji. Ada mimpi. Aku mempunyai impian yang sama seperti Aida: mendukung Islam
di jalan kami. Aku ingin mempunyai anak-anak seperti Asma punyai. Anak-anak
seperti Immad Aql. Aku tahu kualiti diri masih sangat jauh dari sempurna. Tapi
seperti kata Aida; Meskipun aku lebih malu lagi untuk meminta ini kepada-Nya.
Aku ingin menjadi pendamping seorang mujahid ulung seperti Izzuddin al-Qassam.
Akhifillah, Mungkin antum
tertawa membaca surat ini. Ah akhwat, berapa nilaimu sehingga mengimpikan
mendapat mujahid seperti mereka? Boleh jadi tuntutanku terlalu besar. Tapi
tidakkah antum ingin mendapat jodoh yang setimpal? Afwan kalau surat antum
tidak saya layani. Saya tidak ingin masalah hati ini berlarutan. Satu saja yang
saya minta agar kita saling menjaga sebagai saudara. Menjaga saudaranya agar
tetap di jalan yang diridhai-Nya. Tahukah antum bahwa tindakan antum telah
menyebabkan saya tidak lagi berada di jalan-Nya? Ada riya’, ada su’udzhan, ada
takabur, ada kemarahan, ada kebencian, itukah jalan yang antum bukakan untuk
saya, jalan neraka? –‘Afwan.
Akhifillah, Surat ini seolah
menempatkan antum sebagai tertuduh. Saya sama sekali tidak bermaksud demikian.
Kalau antum mahu cara seperti itu, silakan. Afwan, tapi bukan saya orangnya.
Jangan antum kira kecantikan lahir telah menjadikan saya merasa memiliki
segalanya. Jesteru, kini saya merasa iri pada saudari saya. Ia begitu
sederhana. Tapi akhlaknya bak lantera yang menerangi langkah-langkahnya. Ia
jauh dari fitnah. Sementara itu, apa yang saya punyai sangat jauh nilainya.
Saya bimbang apabila suatu saat ia berhasil mendapatkan Abdullah Azzam
impiannya, sedangkan saya tidak.
Akhifillah, ‘Afwan kalau saya
menimbulkan fitnah bagi antum. Insya Allah saya akan lebih memperbaiki diri.
Mungkin semua ini sebagai peringatan Allah bahwa masih banyak amalan saya yang
riya’ maupun tidak ikhlas. Wallahua’lam. Simpan saja cinta antum untuk isteri
yang telah dipilihkan Allah. Penuhilah impian ratusan akhwat, ribuan ummat yang
mendambakan Abdullah Azzam dan Izzuddin al-Qassam yang lain. Penuhilah harapan
Islam yang ingin generasi tangguh seperti Imaad Aql. Insya Allah antum akan
mendapat pasangan yang bakal membawa hingga ke pintu jannah.
Akhifillah, Malam bertambah-dan
bertambah larut. Mari kita shalat malam dan memandikan wajah serta mata kita
dengan air mata. Mari kita sucikan hati dengan taubat nasuha. Pesan saya,
siapkan diri antum menjadi mujahid. Insya Allah, akan ada ratusan Asma dan
Aisyah yang akan menyambut uluran tangan antum untuk berjihad bersama-sama.
Salam
dari ukhtukum fillah.
Sumber :
http://www.oaseimani.com
No comments:
Post a Comment